Siapkah kita apabila kematian itu datang ? bekal apa yang kita punya ? kemana kita setelah dia datang ? pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantui saya setiap saya memikirkan arti dari kata “kematian”. Sejatinya sangat banyak tempat untuk saya dapat menemukan jawaban dari pertanyaan diatas seperti dari ahli agama atau membaca kitab suci yang diturunkan Tuhan untuk pedoman hidup umatnya. Tetapi itu semua tidak cukup membuat hasrat ingin tahu saya akan makna kematian terpuaskan.
Kematian dari tafsir keagamaan adalah sebuah awal dari kehidupan yang kekal dimana setelah itu kita akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita didunia (hidup). Kata mati sendiri saat diartikan adalah saat dimana nyawa atau jiwa meninggalkan raga.
Lalu bagaimana proses pertanggungjawaban tersebut ? dalam ajaran islam telah berulang kali diterangkan oleh Al-Qur’an Suci tentang buku catatan perbuatan baik buruk. Maka semua perbuatan manusia (baik,buruk) yang telah dilakukan didunia akan mendapatkan balasan tanpa ada perbedaan, tak ada perbuatan manusia yang sia-sia tanpa akibat atau buah.
Apakah adil ? sehubungan dengan perbuatan baik dan buruk maka kita akan berpikir adilkah nanti saat kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita.
“Dan pada hari itu neraca dibuat seadil-adilnya; maka barangsiapa timbangan perbuatan baiknya berat, maka ia beruntung dan barangsiapa timbangan perbuatan baiknya ringan, mereka adalah orang yang merusak jiwanya” (7:8-9)
Hadis diatas sudah cukup menjelaskan bahwa kita tidak perlu ragu atau pun takut akan dicurangi saat penimbangan amal baik dan buruk.
Lalu kemana ? jawabannya adalah surga atau neraka. Suatu tempat yang satu mata pun belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengar dan tak ada pikiran seseorang yang pernah dapat membayangkannya. Tetapi yang saya ketahui surga adalah tempat yang indah dimana didalamnya mengalir sungai yang berasal dari amal baik orang-orang yang menghuninya sedangkan neraka adalah tempat dimana kita dijatuhkan, dibakar dan hancur lebur karena perbuatan buruk yang kita lakukan selama hidup.
Giliran Anda
Giliran yang saya maksud disini adalah giliran kita di datangi oleh Malaikat Izhrail Malaikat yang memang ditugaskan oleh Tuhan untuk mencabut nyawa manusia. Bagaimana jika giliran itu datang pada anda ? pertanyaan itu saya lontarkan kepada sebagian teman. Dan jawaban mereka benar-benar memberikan pelajaran untuk saya. Seorang teman yang saya anggap cukup memiliki pendidikan agama yang baik menjawab kalau dia belum berani untuk berhadapan dengan Malaikat Izhrail karena dia merasa masih memiliki banyak dosa. Berbeda lagi dengan seorang teman yang sedikit urakan yang sangat tidak mengenal agama pertanyaan yang pertama saya lontarkan adalah “kowe wes mulai sholat durung ?” dan jawaban yang cukup mengejutkan keluar dari mulutnya, dia menjawab “aku wae lali kapan terakhir kali sholat”. Tidak berhenti disitu saat saya menanyakan pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana kalau ajal mu sekarang ? dan tanpa beban ia menjawab ya sudah mau apa lagi. Dari wawancara singkat dengan dua orang yang berbeda latarbelakang tersebut apakah saya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa budaya takut mati hanya berlaku untuk orang yang mengerti agama ?
Karena masih belum cukup puas dengan wawancara yang masih menyimpan tanya diatas saya mencoba lagi untuk melakukan pendekatan dengan orang yang saya anggap berada sangat dekat dengan kematian. Beliau adalah seorang anggota tim SAR dan saya mencoba mengorek-ngorek sedikit pengalaman dari beliau. Beliau bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya sebagai tim SAR saat melakukan penyelamatan saat terjadi bencana Merapi setahun yang lalu. Beliau bercerita kalau beliau pernah menolong seorang ibu yang terjebak awan panas (wedus gembel) dalam rumahnya tetapi ibu itu menolak ditolong karena dia merasa anaknya yang berada didalam kamar jauh lebih layak untuk ditolong dibandingkan dirinya. Saat beliau menolong anak dari sang ibu itu dan membawanya turun dari lereng gunung tak lama awan panas pun turun dan nyawa sang ibu pun tidak dapat tertolong. Dari cerita diatas kembali saya mendapatkan sebuah tanya, apakah cinta kasih bisa membuat seseorang siap untuk mati dan kehilangan budaya takut matinya ?
Lalu bagaimana dengan bapak yang bekerja jadi seorang tim SAR tadi, apakah dia juga takut mati ? beliau menjawab dengan ciri khas orang dewasa yang membuat saya banyak mengerti tentang arti kematian. Kematian itu sudah ada yang mengatur kita sebagai manusia hanya menjalankan apa yang sudah di gariskan oleh Tuhan, saya hanya manusia biasa saya juga takut akan kematian tapi saya juga tetap harus menjalani hidup saya yang sangat dekat dengan kematian ini karena itu juga digaris oleh Tuhan.
Jadi kita sebagai manusia yang akan mengalami kematian ada baiknya mengingat bahwa kehidupan didunia ini hanyalah sementara agar kita bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta karena Ia lah zat yang membuat kita hidup dan Ia juga tempat kita kembali.