Legenda Etiologis Bayuwangi

Serat Ajipamasa

Serat Ajipamasa adalah Serat karangan R. Ng. Ranggawarsita, Serat Ajipamasa sendiri Bersifat epik, romantik, didaktik, kronik dan didukung unsur-unsur (motif) myte, legenda (etiologis), simbolisme, hagiografis, mimpi, cinta, karma, peruwatan, perebutan kekuasaan, ilham, hukum, perekonomian, filsafat, pola pelestarian lingkungan hidup, adat istiadat, sosial masyarakat, strategi perang, kepahlawanan maupun keditektifan.

Dari uraian di atas nyata bahwa Serat Ajipamasa sarat akan bebagai macam tradisi jawa. Pengertian etiologis secara etimologi sendiri terdiri atas 2 kata yaitu, legenda dan etiologis. Legenda adalah cerita rakyat tentang tokoh, peristiwa atau temapt tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos. Dan etiologis adalah kisahan pendek dalam prosa atau puisi yang menceritakan asal-usul nama, seperti nama tempat, nama orang.

Dalam serat tersebut kaitanannya sangat erat dengan lamaran Prabu kusumawicitra raja Kediri kepada Dewi Suskandani atau Dewi Daruki.

Prabu Kusumawicitra mengutus Brahmanacari ke Pampang (panampangan) Menghadap Ajar Kapya untuk melamar Dewi Daruki. Lamaran raja tersebut di terima akan tetapi dengan syarat baginda melindungi Padepokan Banyuwangi atas kemarahan Prabu Tungu dari Ujung Timur yang lebih dahulu melamar sang putri. Didalam Serat Ajipamasa dikemukakan penamaan kota Banyuwangi atau Toyawangi berkaitan dengan munculnya naga Daruki penjelmaan tembuni Dewi Daruki dari dalam sedang. Cerita lain menjelaskan Ajar Subrata adalah saudara seperguruan dan besan dari Jayabaya yang di bunuh oleh Jayabaya sendiri karna Jayabaya yang telah mendapat ilmu yang sangat tinggi (Jangka Tanah Jawa) tetapi di anggap salah besar karna melanggar pantangan gurunya (Molana Ngali samsuzen).

Ajar Sutapa memiliki istri yang bernama Endang Maswi. Pada saat mengandung Endang telah di tinggal meninggal oleh suaminya tetapi bayi yang di lahirkannya diyakini adalah penjelmaan dari Ajar Sutapa, setelah bayi tersebut lahir muncullah naga Penjelmaan Dewi Daruki. Naga tersebut meminta kepada pakaian indah kepada dewa seperti halnya diberikan kepada saudara perempuannya. Kemudian para dewa menamai naga tersebut Naga Raja Daruka. Adapun bayi putri Ajara Kapyara dan Endang Maswi itu diberi nama Dewi Daruki. Pada waktu Naga Daruka muncul dari dalam mata air itu, maka airnya menjadi berbau harum (wangi). Oleh sebab itu mata air tesebut dinamakan Banyuwangi (Serat Ajipamasa pupuh IV). Dari kejadian tersebut maka Ajar Kapyara menamakan Pampang tersebut dengan nama Banyuwangi dan masyarakat di luar desa lebih mengenal dengan nama Toyawangi.

Beberapa waktu kemudian Prabu Kusumawicitra datang ke Banyuwangi untuk melangsungkan pernikahan dengan Dewi Daruki. Prabu Tungu dari Ujung Timur yang kemudian mendengar berita perkawinan tersebut kemudian menyerang Padepokan Banyuwangi. Tetapi serangan tersebut mendapat perlawanan dari pasukan Kediri. Peperangan tersebut dilukiskan dalam Serat Ajipamasa pupuh X pangkur, bait 10-32.

Tetapi dalam peperangan tersebut Prabu Kusumawicitra tidak mampu melawan pasukan dari Prabu Tungu, pada waktu itu Naga Daruka mendapat petunjuk dari Sang Hyang Narada dan Sang Hyang Basuki bahwa padepokan Banyuwangi diserang. Dan Naga Daruka pun mendapat kekuatan dari dewa (sotya santika) yang dapat memberikan kekuatan tak terhingga. Dengan kesaktiannya Naga Daruka Menghancurkan Pasukan dari Ujung Timur.

Dikemukakan dalam Serat Ajipamasa setelah Dewi Daruki ditinggalkan oleh Prabu Kusumawicitra, ia menjadi sangat sedih. Pada suatu waktu bertemulah Dewi Daruki dengan sepasang burung belipis yang bernama cakrangga-cakranggi dan meminta sepasang burung tersebut mencarikan suaminya. Sepasang belibis itu akhirnya bertemu dengan Prabu Kusumawicitra di Taman Sari dan menyampaikan pesan sang dewi. Prabu Kusumawicitra kemudian menyerahkan cincin dan melilitkan di leher cakrangga sebagai tanda cinta kepada Dewi Daruki. Tak lama kemudian Prabu Kusumawicitra mengutus utusannya untuk menjemput Dewi Daruki dan memboyongnya ke Kediri. Ceritta di atas juga pernah muncul dalam Kakawin Wrttasancaya. Sebenarnya cakrangga-cakranggi juga kembali muncul dalam Tantri Kamandaka tetapi dalam cerita ini cakrangga-cakranggi sangatlah berbeda dengan kedua cerita di atas.

Didalam Serat Ajipamasa dikemukakan bahwa cakrangga-cakranggi masih keturunan dewa. Mereka semula merupakan abdi terkasih dan terpercaya semasa Prabu Anglingdarma menjadi burung belibis dan merajai bangsa burung. Sedangkan dalam Kakawin Wrttasancaya tidak terdapat penjelasan bahwa cakrangga-cakranggi masih keturunan dewa. Namun, sepasang paksi itu memberi kesan mereka bukan bangsa burung biasa.

Dalam Serat Ajipamasa termuat dalam pupuh I Dharmadhandul bait 1 tersirat kesimpulan bahwa legenda etiologis Banyuwangi telah ada sejak tahun 1862 M, bahkan mungkin sebelum itu.

Cerita Sri Tanjung

Prabu Sulakrama sangat iri menyaksikan Sidapaksa memiliki istri yang sangat cantik bernama Sri Tanjung. Ia kemudian menyusun rencana untuk membunuh Sidapaksa dan merebut istrinya. Oleh karna itu Sidapaksa di utus kekahyangan untuk mengantarkan surat dan menagih hutang dewa berupa tiga batang emas dan tiga gulung benang. Sesampainya di khyangan Sidapaksa menyerahkan surat tersebut kepada Dewa Indra. Karna ternyata surat tersebut menyatakan bahwa Sidapaksa ingin menyerang khayangan maka Dewa Indra menanggap Sidapaksa dan memenggal kepalanya tetapi saat Dewa Indra ingin memenggal Sidapaksa, ia selalu menyebut nama ayahnya Sakula (Nakula). Karna kejadian itu di ketahuilah bahwa Sidapaksa adalah keturunan Pandhawa, Sidapaksa kemudian disambut gembira dan disenang-senangkan di Kahyangan. Setelah kembali ke Sinduraja  Prabu Sulakrama mengatakan bahwa Sri Tanjung istrinya bermaksud untuk menyeleweng dengan dirinya.  Karna kejadian itu Sri Tanjung ditusuk oleh suaminya tetapi sebelum meninggal Sri Tanjung mengatakan apabila darahku harum niscaya aku tidak bersalah. Dan ternyata darah dari Sri Tanjung berbau wangi dan membuat Sidapaksa menyesal dan akhirnya gila. Tetapi Sri Tanjung yang belum saatnya meninggal akhirnya dihidupkan kembali oleh Ra Nini dan menyurunya ke tempat kakeknya yakni Bengawan Tambapetra di Prangalas. Setelah kejadian itu akhirnya Sidapaksa bertemu dengan isrtinya kembali dan berhasil memenggal kepala Prabu Sulakrama dan menjadikannya alas kaki istrinya.

Cerita di atas dapat di perkirakan telah ada sejak abad 15 atau 16. Adapun perkiraan yang mendekati kebenaran Cerita Sri Tanjung ditulis pada tahun 1500 M – 1600 M.

Cerita Dewi Surati – Raden Banterang

Raden Banterang adalah seorang putra mahkota dari kerajaan Ujung Timur pulau Jawa. Ketika pada suatu hari ia berburu kehutan, Raden Banterang berjumoa dengan Dewi Surati putri raja Klungkung di Bali. Dewi Surarti melahirkan diri karena kerajaan Klungkung diserbu dan ayahanya gugur di medan laga. Ternyata tidak lain dan tidak bukan yang menyerbu kerajaan Klungkung adalah ayahanda dari Raden Banterang, akhirnya raden banterang dan dewi surarti menikah.

Pada suat hari Dewi Surati dengan Raden Suroto, kakak Dewi Surati yang tengah menyamar menjadi seorang pengemis. Ternyata Raden Suroto masih menaruh dendam kepada Raden Banterang. Suatu hari ketika Raden Baterang berburu kehutan, beliau bertemu dengan seorang pengemis (Raden Suroto) yang mencoba menghasut Raden Banterang. Karena hasutan tersebut Raden Banterang marah kepada Dewi Surati dan menuduhnya merencanakan pembunuhan terhadap dirinya dan ayahnya lalu beliau mengajak Dewi Surati ke tepi laut. Dewi Surati mengatakan apabila dia nanti di bunuh dan air sungai itu kemudian wangi maka tuduhan suaminya tidak benar dan cinta kasihnya tetap suci. Tetapi sebelum menusuk Raden Banterang menusuk Dewi surati, dewi surati terlebih dahulu menceburkan dirinya kesungai. Tak lama setelah itu air di sungai itu pun menjadi wangi dan raden banterang berteriak “banyuwangi”.

Tapi menurut masyarakat setempat ceritanya adalah Dewi Surati di tusuk oleh Raden Banterang dan darah yang keluar berbau wangi (harum).

Cerita Dewi Surati – Raden Banterang di perkirakan tercipta setelah tahun 1500 M – 1600 M.

Babad Blambang (Tirtaganda)

Dalam kisah ini di ceritakan bahwa Blambang yang beribukota di Pangpang semenjak Tumenggung Jakso Negoro di tangkap dan di buang ke Saelan oleh kompeni Belanda, maka terdapat kekosongan dalam pemerintahan. Lalu setelah kejadian itu Mas Alit di tunjuk sebagai tumenggung dengan gelar Tumenggung Wiraguna.

Lalu Tumenggung Wiraguna memindahkan pusat pemerintahan dari Pangpang ke Tirta Arum, selanjutnya di ubah namanya menjadi Banyuwangi. Dan dewasa ini wilayah Daerah tingkat II Kabupaten Banyuwangi di sebelah timur dibatasi oleh selat Bali, di sebelah selatan dibatasi Samudra indonesia, di sebelah barat dibatasi dataran tinggi Gunung Ijen dengan puncaknya gunung merapi, dan di sebelah utara dibatasi Gunung Raung.

Dari penjelasan di atas dapat di gambarkan hal tersebut terjadi setelah berakhirnya Perang Bayu II yang terjadi pada tahun 1767-1777.

Kurang lebih demikian terjadinya kota Banyuwangi menurut Babad Blambangan.

Serat Darmagandhul

Dalam kisah ini nama Banyuwangi berkaitan erat dengan pengislaman Prabu Brawijaya.

Di ceritakan bahwa sunan kalijaga berusaha membantu Prabu Brawijaya meyakinkan Sabdo Palon Naya Genggong bahwa agama islam adalah ajaran agama yang baik dengan mengatakan apabila air pada kolam tersebut berubah menjadi harum (wangi) maka agama islam adalah agama yang baik. Tetapi Sabdo Palon Naya Genggong tetap kukuh pada pendiriannya dan memutuskan menginggalkan Prabu Brawijaya dan berjanji akan kembali ke tanah jawa dengan membawa seorang yang diasuhnya. Setelah kejadian tersebut Brawijaya mengatakan kepada Sunan Kalijaga untuk diketahui, bahwa daerah Blambang (hendaknya) bernama Banyuwangi. Dimaksudkan sebagai pertanda kembalinya Sabdo Palon ketanah Jawa dengan Membawa anak asuhnya.

Dan cerita tersebut dapat di uraikan Legenda etiologis Banyuwangi adalah pada masa Majapahit akhir sekitar tahun 1478 M. Namun, Serat darmagandhuk sendiri sudah ada sejak 1830 J.

Kesimpulan

Pada intinya banyak sekali cerita mengenai Legenda etiologis Banyuwangi yang beredar di masyarakat, tapi pada umumnya perubahan air menjadi harum itu sebagai latar belakang utama.

Dan saya mendapatkan sedikit cerita tambahan tentang sejarah Banyuwangi yaitu sejarah Blambangan tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768. Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ). Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).  Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046). Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris. Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

Daftar pustaka :

Tedjowirawan, Anung. 2010. Legenda Etiologis Bayuwangi Dalam Serat Ajipamasa

 

Daftar Link :

http://www.banyuwangikab.go.id/profile/sejarah-singkat.html

 

2 pemikiran pada “Legenda Etiologis Bayuwangi

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s